Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait diterimanya pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024. Tak main-main, KPU diminta membayar ganti rugi sebesar Rp 70,5 triliun karena dinilai telah melanggar aturannya sendiri, yaitu Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai bahwa KPU memang melanggar aturan ketika menerima pendaftaran Prabowo-Gibran pada Rabu, 25 Oktober 2023 lalu. Sementara PKPU yang baru, baru disepakati dengan Komisi II DPR pada 1 November 2023.
Baca Juga
"Kalau yang digugat itu PKPU lama, ada dasarnya dan bisa menang penggugatnya. Karena yang jadi objek peraturan yang lama," kata Fickar kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis, (2/11/2023).
Advertisement
Menurut Fickar, putusan Mahkamah Konstitusi belum bisa menjadi dasar hukum sebelum diturunkan menjadi PKPU.
Fickar mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan seseorang bisa mendaftar capres-cawapres jika berusia minimal 40 tahun atau sudah pernah menduduki jabatan publik karena terpilih melalui pemilu seharusnya diturunkan dulu menjadi Undang-Undang. Baru setelah itu diturunkan kembali menjadi PKPU. Sehingga KPU memiliki pegangan hukum dalam menerima pendaftaran capres-cawapres.
"Tapi KPU melakukan jalan pintas dengan berdiskusi dengan Komisi II. Dengan PKPU baru ini yang mengakomodir putusan MK maka KPU baru punya kewenangan menerima pendaftaran. Artinya pendaftaran yang pertama itu tidak sah," ucapnya.
Sehingga untuk menghindari gugatan, kata Fickar seharusnya KPU meminta pasangan Prabowo-Gibran untuk mendaftar ulang Pilpres 2024.
"Lakukan penerimaan pendaftaran lagi. Menyuruh Prabowo-Gibran daftar ulang. Tanggal diganti nomor dan tanggal pendaftarannya saja. Sesimpel itu," ujarnya.
Sementara soal gugatan membayar ganti rugi sebesar Rp 70,5 triliun, menurut Fickar tidak masuk akal. Meski sebenarnya nilai gugatan yang diajukan tidak dibatasi oleh undang-undang.
"Bisa saja masyarakat menggugat dengan nilai tertentu, tapi begitu masuk pengadilan maka hitungannya harus logis. Kalau sampai Rp 70 triliun susah mencari dasar," ujarnya.
Berbeda dengan Fickar, Pakar Hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai bahwa KPU tidak melakukan kesalahan saat menerima pendaftaran Prabowo-Gibran. Sebab, KPU sudah melaksanakan putusan MK.
"(KPU) Tidak salah, kan itu melaksanakan putusan MK, itu berlaku untuk siapapun. Kalau tidak melaksanakan putusan MK salah lagi. Putusan MK kan lebih tinggi dari PKPU. Jadi KPU tidak melakukan kesalahan," kata Suparji kepada Liputan6.com.
Menurutnya, penggugat harus bisa membuktikan unsur kerugiannya.
"Seseorang harus buktikan kerugiannya apa, tidak boleh asumsi, ilusi, harus konkret, Rp 70,5 triliun itu hitungannya dari mana? Lalu siapa yang menderita?," kata dia.
Sementara Wakil Ketua Komisi II Yanuar Prihatin menilai tak ada yang salah dengan pendaftaran Prabowo-Gibran pada 25 Oktober 2023. Sebab, hingga saat ini belum masuk tahap verifikasi.
“Sekarang semua bisa daftar, bahwa itu sah atau tidak, memenuhi syarat atau tidak waktunya bukan pada saat pendaftaran, ada tahap verifikasi,” kata Yanuar di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (2/11/2023).
Saat ini, kata Yanuar, verifikasi berkas dan syarat masih berlangsung di KPU. “Kan berkasnya diverifikasi, administrasi nya, kesehatannya, sampai akhirnya KPU memutuskan final bahwa ini layak memenuhi syarat atau nggak, itu kan waktunya belum,” ungkapnya.
KPU Dinilai Melanggar Aturannya Sendiri
Brian Demas Wicaksono, seorang akademisi menilai KPU telah melanggar aturannya sendiri lantaran menerima pendaftaran Prabowo-Gibran sebagai capres-cawapres. Ia pun menggugat KPU ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan terdaftar dengan nomor perkara: 717/pdt.G/2023/PN. Jkt Pst.
Adapun tergugat adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI sebagai turut tergugat I dan Prabowo Subianto sebagai turut tergugat II dan Gibran Rakabuming Raka sebagai turut tergugat III.
Penasihat hukum Brian, Anang Suindro mengatakan, kliennya menilai KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menurut dia, KPU masih terikat dengan PKPU Nomor 19 tahun 2023 pada saat proses penerimaan pendaftaran capres dan cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Raka Buming Raka tanggal 25 Oktober 2023.
Di mana pada Pasal 13 ayat 1 huruf Q disyaratkan calon presiden dan wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun dan belum ada perubahan.
"Nah kami menilai KPU melanggar peraturan yang dibuat sendiri yaitu melanggar PKPU No 19 tahun 2023. Maka atas perbuatan KPU yang menerima pendaftaran itu kami menilai itu adalah merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU," ujar dia.
Anang berharap KPU dalam menyelenggarakan pilpres harus tetap mengedepankan keadilan dan kepastian hukum sehingga tahapan-tahapan yang dilakukan oleh KPU itu harus sesuai dengan peraturan.
"Peraturan yang dibuat sendiri yaitu PKPU No 19 Tahun 2023," ucap dia.
Anang mengatakan, kliennya meminta KPU membayar ganti rugi sebesar Rp 70,5 triliun. Hitungan nilai kerugian merujuk pada keterangan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan terkait APBN yang digunakan untuk anggaran pemilu sebesar 70, 5 T.
"Kami menilai ketika dalam proses tahapan yang dilakukan KPU ada cacat hukum atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan KPU maka tentu akan timbul kerugian. Kerugian itu adalah kerugian negara yang jumlahnya Rp 70,5 T. Kami meminta kalau kemudian gugatan kami dikabulkan oleh PN Jakpus kami meminta KPU dihukum membayar ganti rugi sebesar itu dan nanti akan kita kembalikan kepada negara," ucap Anang.
Gugatan yang Salah Alamat
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik mengatakan gugatan tersebut salah alamat. Sebab, jika ada yang menduga KPU menyalahi aturan terkait pendaftaran calon atau pasangan calon, maka ranahnya sengketa bukanlah pengadilan negeri (PN).
"Pendaftaran calon atau pasangan calon adalah ranahnya sengketa proses, ditangani oleh Bawaslu ataupun PTUN, bukan PN," jelas Idham.
Idham lalu menjelaskan, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur berkaitan dugaan pelanggaran aturan dalam pemilu ada 4 jenis. Pertama, pelanggaran pemilu yang mencakup pelanggaran kode etik dan pelanggaran adminsitrasi pemilu yang terdapat di Pasal 454-459.
"Dugaan pelanggaraan kode etik ditangani oleh DKPP dan dugaan pelanggaraan administrasi ditangani oleh Bawaslu," kata dia.
Kedua, lanjut Idham, adalah sengketa proses pemilu yang terdapat di dalam Pasal 466-472. Dalam menangani permasalahan sengketa ini maka proses ditangani oleh Bawaslu dan PTUN.
Kemudian yang ketiga, sambung Idham, adalah perselisihan hasil pemilu (PHPU) yang terdapat di dalam Pasal 473-475, maka penyelesaian PHPU ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
"Keempat adalah tindak pidana pemilu yang terdapat di dalam Pasal 476 - 487. Dugaan tindak pidana pemilu ini ditangani oleh Gakumdu atau Sentra Penegak Hukum Terpadu," Idham menandasi.
Pendaftaran Pilpres Prabowo-Gibran Sah
Sementara Ketua KPU Hasyim Asy'ari memastikan pendaftaran Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden dan calon wakil presiden tetap sah meski Peraturan KPU (PKPU) baru direvisi.
Revisi itu memuat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres dan cawapres. Sehingga, kata Hasyim, pendaftaran Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres tetap sah meski aturannya diubah belakangan.
Sebab, pada saat pendaftaran, KPU hanya memeriksa kelengkapan dokumen saja. KPU belum memeriksa apakah pasangan capres-cawapres itu lolos sesuai persyaratan atau tidak.
"Karena PKPU Nomor 19/2023 masih berlaku. Kami menyatakan bahwa pada masa pendaftaran itu yang kami periksa adalah apakah dokumennya sudah lengkap atau belum lengkap," jelas Hasyim.
KPU baru memeriksa kelengkapan dokumen pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang mendaftar.
Sementara apakah memenuhi syarat atau tidak, baru akan dilakukan ketika penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada 13 November 2023.
"Sehingga yang kami periksa itu tentang keputusan apakah dokumennya benar atau sah, sehingga kesimpulan akhirnya memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat. Itu keputusannya. Menurut jadwal nanti penetapannya pada tanggal 13 November 2023," jelas Hasyim.
"Sehingga kami jadikan patokan ketika masa pendaftaran tersebut adalah lengkap atau tidak lengkap dokumen persyaratannya," jelasnya.
Advertisement
DPR dan KPU Sepakati Revisi PKPU
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyepakati revisi Peraturan KPU (PKPU) mengenai perubahan syarat calon presiden dan calon wakil presiden (Capres-Cawapres).
Revisi PKPU dilakukan pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memutuskan syarat capres dan cawapres adalah berusia 40 tahun atau kepala daerah yang sedang atau pernah dipilih lewat pemilihan umum.
"Komisi II DPR RI bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP RI) menyetujui Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (R-PKPU) tentang perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden," kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia dalam rapat bersama KPU dan Bawaslu, Selasa (31/10/2023) malam.
Rapat tersebut juga menyepakati dua Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) terkait pengawasan capres-cawapres dan pengawasan dana kampanye.
"Rancangan Perbawaslu tentang Pengawasan Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Rancangan Perbawaslu tentang Pengawasan Dana Kampanye Pemilihan Umum," kata Doli.
Doli berharap KPU dan Bawaslu memperhatikan seksama saran dan catatan yang disampaikan Komisi II DPR, Kemendagri, dan DKPP.
"Dengan catatan agar KPU RI dan Bawaslu RI memperhatikan saran dan masukan dari anggota Komisi II DPR RI, Kemendagri, dan DKPP," pungkas Doli.